Rabu, 16 September 2015

Sistem Pertanian Terpadu pada Kawasan Konservasi Untuk Pengendalian Alih Fungsi Lahan Pertanian

Integrated Farming System dapat didefinisikan sebagai penggabungan semua komponen pertanian dalam suatu sistem usaha pertanian yang terpadu. Sistem usaha pertanian terpadu merupakan system ekonomi yang berbasis teknologi ramah lingkungan dan optimalisasi semua sumber energi yang dihasilkan. Tujuan penerapan sistem tersebut yaitu untuk menekan seminimal mungkin input dari luar (input/masukan rendah) sehingga dampak negatif sebagaimana disebutkan di atas, semaksimal mungkin dapat dihindari dan berkelanjutan (Nurcholis dan Supangkat, 2011). Model sistem pertanian terpadu pada kawasan konservasi dapat digambarkan pada gambar berikut ini:
Gambar 1. Konsep SPT pada kawasan konservasi
Konsep pengembangan lahan marjinal pada lahan dengan tutupan yang rendah dapat  digunakan tanaman yang berfungsi sebagai tutupan lahan dan dapat bernilai ekonomi tanpa menebang pohon, atau tanaman hutan dengan hasil bukan kayu. Konsep ini memanfaatkan tanaman untuk makanan ternak, pengolahan biogas dari kotoran ternak, pemanfaatan kotoran ternak untuk pupuk tanaman, dan pemanfaatan tanaman tinggi untuk konservasi air (missal tanaman Enau). Konsep pengembangan lahan dengan spesifikasi rawan erosi dilakukan dengan menggunakan tutupan lahan yang ditanami beberapa tanaman. Konsep yang memadukan untuk pengembangan pertanian lainnya secara terpadu yaitu dengan memanfaatkan tanaman untuk pakan ternak, pemanfaatan kotoran ternak untuk pupuk organik, dan pemanfaatan tanaman tahunan untuk konservasi tanah air.
 Gambar 2. Konsep pengembangan pertanian SPT pada lahan erosi
Pada pengembangan kawasan hutan yang mempunyai potensi erosi dapat dilakukan dengan pengembangan wanatani. Dalam sistem wanatani ini dapat dilakukan pemanfaatan lahan hutan untuk lumbung pangan berupa tanaman umbi-umbian. Petani dapat mengambil rumput atau hijauan dari tumbuhan lain untuk pakan ternak. Untuk menghadapi musim kemarau, dilakukan pemprosesan rumput dengan fermentasi sehingga pakan dapat tersedia sepanjang waktu. Kotoran ternak dapat diproses menjadi biogas dan pupuk organik. Lahan dengan kendala erosi perlu dihindari budidaya tanaman dengan hasil panen berupa umbi-umbian. Misalnya saja ketela pohon yang dibudidayakan di lahan potensi erosi dapat meningkatkan laju erosi karena pemanenan dilakukan dengan mengusik tanah sampai kedalaman lebih dari 30 cm. Pengusikan tanah ini dapat merusak struktur tanah yang sudah mantap. Selain itu, tanaman ketela mampu berproduksi di tanah yang miskin hara dan sifatnya rakus unsur hara sehingga dapat mempercepat pemiskinan tanah jika tidak disertai dengan pemberian bahan penyubur tanah, seperti penambahan pupuk organik.
Untuk lahan yang rawan kekeringan dan atau banjir dapat dilakukan dengan konsep upland dan lowland. Prinsip penanganan kekeringan dan atau banjir pada prinsipnya dengan pengaturan air hujan sehingga tidak cepat turun ke lahan bawahan sebagai runoff. Usaha konservasi tanah dan air di kawasan atasan merupakan kunci dalam mengatasi kedua permasalahan, yaitu kekeringan dan atau banjir. Di samping itu, dengan pembuatan bangunan pada lahan mempunyai tingkat kemiringan tinggi dapat berfungsi dalam proses peresapan air di lahan atasan (upland). Hal ini dilakukan dengan meningkatkan resapan air di kawasan tangkapan air, sehingga air hujan tidak langsung turun ke lahan bawahan. Penanganan lahan marjinal dengan sistem Surjan artinya tanaman yang dusahakan dalam satu petak ada beberapa atau lebih dari dua macam. Untuk daerah atasan yang lahannya cenderung kering dan kurang air salah satunya dengan menanam tanaman hortikultura dan palawija yang dikombinasikan dengan padi, sedangkan untuk irigasi pengairannya mengandalkan dari sumur kapiler. Daerah bawah yang mengalami kekeringan masih mendapatkan air irigasi secara bergiliran meskipun distribusinya tidak bisa selalu merata. Penanganan lahan banjir dengan perbaikan sistem drainase dan tutupan lahan yang dapat mengubah air limpasan menjadi air yang dapat dimanfaatkan untuk pertanian.


Oleh : Maya Septavia Setyoningrum 
NIM : 12/331698/PN/12783

Referensi :

Nurcholis, M dan Supangkat, G. 2011. Pengembangan Integrated Farming System Untuk Pengendalian Alih Fungsi Lahan Pertanian. Prosiding Seminar Nasional Budidaya Pertanian Urgensi dan Strategi. <http://repository.unib.ac.id>. Diakes pada tanggal 16 September 2015 pukul 22.30

Integrasi Tanaman Dengan Ternak



  Pertanian terpadu (integrated system farming) adalah sebuah sistem pertanian yang terintegrasi dengan alam yang ada di sekitarnya.  Istilah ini muncul pada zaman Soeharto yang pada saat itu sangat mementingkan masalah pertanian. Program presiden Soeharto saat itu berpusat pada bagaimana meningkatkan produktivitas pertanian dengan lahan yang terbatas. Pemerintah pada masa itu diusulkan untuk mencari cara bagaimana mengkombinasikan pertanian dengan perikanan dan perkebunan. Pada akhirnya muncul ide – ide pertanian terpadu seperti mina padi, yang menggabungkan sawah dengan kolam ikan. Sawah semacam ini bisa menjadi indikator untuk tercemarnya lingkungan karena apabila zat kimia diberikan berlebih maka otomatis ikan yang ada di kolam akan mati.
                Pada prinsipnya, pertanian terpadu adalah menggabungkan berbagai teknik budidaya pertanian, peternakan, dan perikanan agar bisa saling terhubung, saling memberi manfaat, dan tidak saling merugikan. Sampah yang dihasilkan pertanian bisa dimanfaatkan untuk peternakan. Begitu juga sebaliknya, sampah yang ada pada peternakan bisa digunakan untuk pertanian. Contoh nyata dari sistem seperti adalah sawah atau ladang yang tempatnya berdekatan dengan peternakan. Sampah – sampah dari ladang, bisa diberikan pada hewan ternak sebagai pangan. Setelah dimakan maka hewan akan mengeluarkan kotoran. Kotoran ini nantinya bisa digunakan sebagai pupuk untuk tanaman tadi. Dengan begitu, tercipta hubungan saling menguntungkan.
                Pola integrasi antara tanaman dan ternak sangat menunjang  program penyediaan pupuk kandang di lahan pertanian. Pola semacam ini biasa disebut juga peternakan tanpa limbah, karena limbah peternakan digunakan untuk pertanian. Ciri utama dari integrasi ini adalah adanya keterkaitan dan hubungan yang saling menguntungkan antara tanaman dan ternak. Integrasi ini mampu memperbaiki kesuburan tanah, sehingga hasil dari kedua sektor bisa lebih optimal. Pola integrasi ini bisa menjadi solusi untuk pembangunan pertanian di wilayah pedesaan. Petani bisa memanfaatkan kotoran ternak sebagai pupuk untuk tanamannya, kemudian memanfaatkan limbah pertanian untuk digunakan sebagai pakan ternak (Ismail dan Djajanegara,2004)
                Petani mampu mengatasi permasalahan ketersediaan pangan dengan limbah tanaman seperti jerami, limbah kacang – kacangan, dan lain sebagainya. Terlebih jika musim kering, limbah yang dihasilkan bisa menyediakan pakan sebesar 33,3% dari total rumput yang diberikan. Itu berarti limbah akan semakin banyak, yang artinya pakan untuk ternak akan semakin melimpah (Kariyasa,2003). Disamping mampu menghemat biaya untuk pembelian pupuk bagi tanaman yang dikelola, sistem ini juga menghemat tenaga kerja yang digunakan untuk mencari rerumputan untuk ternak. Dengan  adanya kotoran ternak yang berfungsi sebagai pupuk, biaya yang digunakan untuk pembelian pupuk bisa digunakan untuk keperluan lain.
                 Tanaman yang diintegrasikan dengan ternak sapi mampu memanfaatkan produk ikutan dan produk samping tanaman untuk pakan ternak dan sebaiknya ternak sapi dapat memberikan bahan baku tanaman yang kaya akan unsur hara. Jika program semacam ini bisa dilaksanakan maka petani dan peternak akan untung sekaligus. Program ini sekaligus meningkatkan hasil panen, daging, susu, sehingga pendapatan petani akan naik.
                Untuk dapat dimanfaatkan, hasil limbah pertanian diolah terlebih dahulu. Produk diolah dengan pencacahan, fermentasi atau amonisasi sebelum diberikan kepada ternak agar disukai ternak. Produk samping padi berupa jerami mempunyai potensi yang besar untuk pakan ternak. Produksi jerami tanaman padi rata – rata mencapai 4 ton/ha dan setelah melewati proses fermentasi bisa menyediakan pakan untuk sapi sebanyak 2 ekor pertahun. Jerami yang dibutuhkan juga berbeda tergantung dari ukuran ternak yang ada.
                Kotoran sapi berupa feses, urine, dan sisa pakan diolah diolah menjadi pupuk organik padat ataupun cair untuk diberikan pada tanaman, atau bisa juga untuk dijual agar pendapatan bertambah. Seekor sapi misalnya, mampu menghasilkan kotoran sebanyak 8 – 10 kg perhari, urine 7 – 8 liter perhari dan bila diproses menjadi pupuk organik dapat menghasilkan 4 – 5 kilogram pupuk. Itu artinya, seekor sapi dapat menghasilkan sekitar 7,3 – 11 ton pupuk organik pertahun. Pupuk itu dapat menunjang kebutuhan pupuk organik untuk 1,8 – 2,7 hektar dengan dua kali tanam dalam setahun. Kotoran sapi ini bisa digunakan untuk pupuk padi, sayuran, tanaman buah, jagung, dan lain sebagainya. Jika kotoran ternak bisa dimanfaatkan dengan baik maka kebutuhan banyak jenis tanaman akan terpenuhi.
                Pola integrasi tanaman – ternak memerlukan kerjasama antara petani, peternak dan pemerintah. Kebijakan pemerintah untuk mendorong pengembangan sistem integrasi tanaman-ternak dapat berupa strategi agresif dan diversifikatif. Pemerintah juga perlu memberikan bantuan modal, penyuluhan, bibit, ternak, pelatihan dan introduksi. Pengembangan integrasi ini bisa dilakukan dengan pendekatan kelompok. Dengan cara ini pemerintah dapat mengintensifkan komunikasi antara anggota kelompok dengan pemerintah agar program ketahanan pangan berkelanjutan bisa terlaksana.
               
Isnandar Rahman
14/365116/PN/13683

Daftar pustaka
-Ismail dan Djajanegara. 2004. Kerangka Dasar Pengembangan SUT Tanaman Ternak (Draft).  
  Proyek      PAATP: Jakarta 
-Kariyasa. 2003. Hasil Laporan Pra Survei Kelembagaan Usaha Tanaman-Ternak Terpadu dalam  
  Sistem dan Usaha Agribisnis. Proyek PAATP, Departemen Pertanian, Jakarta

BUDIDAYA JAGUNG DENGAN PENYEDIAN PAKAN TERNAK KAMBING


BUDIDAYA JAGUNG DENGAN PENYEDIAN PAKAN TERNAK KAMBING

Komoditas jagung dan ternak kambing keduanya merupakan sumber pendapatan petani di pedesaan.  Kedua komoditas tersebut dapat dikelola secara bersamaan oleh satu rumah tangga petani karena saling menunjang. Pola integrasi tanaman – ternak telah lama dipraktekkan petani di Indonesia dan Asia Tenggara, namun pengelolaannya masih kebanyakan bersifat tradisionil (Diwyanto, K. dan E. Handiwirawan, 2004).
Kabupaten Lombok Timur yang ditetapkan sebagai lokasi binaan Proyek Pengentasan Kemiskinan (PFI3P) mempunyai potensi pertanian yang cukup baik untuk dijadikan sebagai pengembangan teknologi integrasi tanaman – ternak  karena mempunyai iklim tipe D dan E.  Curah hujan pada daerah iklim tipe E rata-rata 669 mm/tahun, sedang pada daerah tipe D, curah hujan  1289 – 1640 mm/tahun.  Lahannya terdiri dari 48,1% lahan kering, sedang lahan tegalan dan sawah masing-masing 16,1  dan 28,4% (BPTP NTB, 2003). Distribusi curah hujan berlangsung singkat  yaitu 3-4 bulan dalm setahun  (BPS Propinsi NTB, 2002).
Berdasarkan hasil studi Participatory Rural Appraisal (PRA) diperoleh informasi bahwa jenis tanaman pangan yang menjadi prioritas adalah jagung dan jenis ternak yang banyak dipelihara oleh petani adalah kambing (PFI3P, 2003a; PFI3P,2003 b).
Jagung yang dapat ditanam pada berbagai tipe lahan semakin berkembang dan cenderung menggeser komoditi tanaman pangan lainnya.   Hal ini disebabkan oleh sistem budidayanya relatif lebih mudah dan permintaan pasar dalam negeri semakin meningkat terutama dalam memenuhi kebutuhan industri pakan ternak.  Selain itu, tanaman jagung dapat menghasilkan biomas untuk pakan ternak dalam jumlah cukup apabila ditata waktu tanamnya disesuaikan dengan kebutuhan ternak.
Pemeliharaan kambing dengan sistim kandang telah lama dikerjakan petani di Lombok Timur, walaupun dengan pemeliharaan yang tradisionil.  Kotoran kambing belum diproses menjadi pupuk organik pada hal menurut kajian pemanfaatan pupuk organik (kotoran ternak) terhadap produksi dan kualitas padi menunjukkan bahwa penggunaan pupuk an organik (Urea, SP36, dan KCL) dapat dihemat sebanyak 70% dari dosis anjuran (350 – 150 – 100) dengan penggunaan pupuk organik dan sekaligus telah dapat meningkatkan kualitas gabah sehingga nilai jualnya tinggi.  Sebaliknya limbah padi (jerami) yang ditambahkan probiotik dapat meningkatkan kualitas pakan sapi dan sekaligus meningkatkan laju pertumbuhan berat badan ternak (Wardhani, N.K. dan A. Musofie, 2002; Tim Teknis, 2004).
Konsep pengelolaan integrasi tersebut juga berpeluang besar diterapkan pada integrasi tanaman jagung dengan ternak kambing. Teknologi produksi biomas  jagung telah tersedia dan menunjukkan bahwa dengan varietas unggul bersari bebas pada populasi tanaman 130.000 mampu menghasilkan biomass segar sebanyak 50 t/ha, dan pada populasi 200.000 mampu menghasilkan 70 t/ha apabila dipanen pada umur 70 hari (Akil et al., 004). Produksi biomas tersebut jika dikaitkan dengan kebutuhan pakan ternak kambing rata-rata 5,9 kg/hari/ekor  (Suprapto et al. 2002).  Dengan demikian teknologi produksi biomas jagung tersebut dapat menyediakan pakan ternak kambing dengan mengatur waktu penanaman sehingga tersedia pakan sepanjang tahun.


Referensi :
Akil M.,  Evert Y. Hosang dan A. Najamuddin, 2004.  Interaksi varietas dan populasi tanaman jagung terhadap produksi biomas dan biji pada lahan kering di Naibonat.  Makalah disampaikan pada Seminar Mingguan Balitsereal, Desember, 2004.
BPS , 2002.  Propinsi Nusa Tenggara Barat dalam Angka.
BPTP NTB, 2003.  Laporan Hasil PRA pada Desa-desa Poor Farmer di Kabupaten Lombok Timur. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Nusa Tenggara Barat.
Ditjen Bina Produksi Tanaman Pangan, 2002. Informasi dan peluang agribisnis jagung. Direktorat Serealia Jakarta.
Diwyanto, K dan Handiwirawan, 2004.  Peran Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian dalam mendukung usaha agribisnis pola integrasi tanaman – ternak.  Dalam Haryanto et al. 2004 (Peny).  Sistem Integrasi Tanaman – Ternak.  Prosiding Seminar Nasional, Denpasar 20-23 Juli 2004.
PFI3P, 2003a. Panduan perencanaan penelitian dan pengkajian pengembangan inovasi  pertanian di lahan marjinal. Badan Litbang Pertanian.
PFI3P,2003c. Konsep awal inovasi teknologi mendukung pengembangan agribisnis pertanian lahanmarjinal. BadanLitbang Pertanian.
 Pratama, 2014, Teknologi Budidaya Jagung Mendukung Penyediaan Pakan Ternak Kambing Di Lombok Timur, http://setiajididi.blogspot.co.id/2014/10/integrated-farming-system.html. Diakses tanggal 16 September 2015
Simatupang P., 2003. Daya saing dan efisiensi usahatani jagung hibrida di Indonesia.  Dalam Kasryno, E.Pasandaran, dan A.M. Fagi, 2003 (Peny).  Ekonomi Jagung Indonesia.  Badan Litbang Pertanian, Jakarta.
Suprapto, Slamet, Surachman, dan A. Prabowo, 2002. Analisis pendapatan usahatani lada integrasi ternak camping. Dalam Haryanto et al. 2004 (Peny).   Sistem Integrasi Tanaman – Ternak.  Prosiding Seminar Nasional, Denpasar 20-23 Juli 2004.
Tim Teknis, 2004.  Review teknologi petanian untuk lahan kering dan tadah hujan (marjinal). Poor Farmers’ Income Improvement through Innovation Project. Badan Litbang Pertanian.
Wardhani, N.K. dan A. Musofie, 2004. Kajian sistem pertanian organik dalam integrasi ushatani padi – sapi potong. Dalam Haryanto et al. 2004 (Peny).   Sistem Integrasi Tanaman – Ternak.  Prosiding Seminar Nasional, Denpasar 20-23 Juli 2004.                             
                  
                Tawang Hadi 
                14/365134/PN/13691


 T

Selasa, 15 September 2015

Budidaya Jamur Tiram Dengan Media Jerami


Ketika musim panen padi tiba, timbul masalah berupa limbah jerami. Limbah jerami ini biasanya ditumpuk di tengah sawah atau di pinggir pematang sawah, yang kemudian di buang atau di bakar untuk diambi abunya. Padahal pembakaran jerami akan mengakibatkan sebagian unsur hara seperti N, P, K dan Si akan berkurang bahkan hilang, belum lagi dampak pencemaran udara yang ditimbulkan akibat pembakaran tersebut. Menurut berita resmi statistic(2006), produksi padi nasional mencapai 54,75 ton pertahun pada tahun 2006, mneingkat 1,11% dibandingkan produksi padi pada tahun 2005. Peningkatan produksi padi juga diiringi dengan peningkatan jumlah limbah jerami padi.  Menurut kementerian pertanian (2012), per ha sawah menghasilkan sebnyak 3-4 ton jerami kering. Jika semua jerami tersebut sibakar pasti akan menyebabkan pencemaran udara yang hebat, dan tentu akan mengganggu kesehatan masyarakat sekitar.
            Sebenarnya ketersediaan jerani padi ini cukup potensial bila diawetkan melalui pengeringan sinar matahari, lau ditumpuk di tempat yang diberi naungan agar tidak kehujanan untuk dimanfaatkan sebagai media budidaya jamur tiram. Berikut cara membuat media dari jerami padi. Pertama, jerami padi yang sudah dicacah disiapkan sebnyak 100 kg. Lalu, jerami padi, dedak, kapur dan gypsum di dicampurkan dengan perbandingan 100:10:2,5:2 dalam kg, serta ditambahkan air jika campuran terlalu kering. Kemudian, campuran diaduk hingga merata lalu ditutup degan plastic selama 48 jam denga ph6-7. Setelah itu, media dimasukkan ke dalam baglog dan di padatkan hingga beratnya 1-3 kg dan dipasangkan cincin serta tutupnya. Selanjutnya, baglog dikukus dalam drum selama 6-8 jam, lalu didinginkan selama 12 jam. Tahap berikutnya, dilakukan inokulasi (penanaman bibit) secra aseptik, dengan cara bibit dimasukkan ke baglog menggunakan sendok  dan baglog diinkubasi sealama 40-50 hari dengan suhu kamar sampai baglog ditutupi miselium secra merata lalu ditempatkan pad arak-rak didalam rumah jamur(kumbung). Terakhir, tutup baglog dibuks agar jamur dapat tumbuh setelah pembukan selama 2 minggu lalu jamur segar dipanen setelah 2-3 hari.
            Petani jamur di Indonesia masih jarang yang memanfaatkan jerami sebagai media budidaya jamur tiram. Jerami padi biasa dimanfaatkan sebgai pupuk kompos, pakan ternak dan media budidaya jamur merang. Namun, dengan melihat potensi limbah jerami yang melimpah ini, tidak ada salahnya jika kita mencoba mengaplikasikannya pada budidaya jamur tiram. Jerami juga sebagai alternatif lain pengganti serbuk kayu, terutama bagi petani yang sedang kesulitan mendapatkan serbuk kayu, karena sekarang sudah terjadi persaingan untuk mendapatkan serbuk kayu antara sesama peteni jamur, pengerajin batu bata, maupun industry tebu. Dengan memanfaatkan jerani untuk budidaya jamur tiram berate kita telah membantu mengatasi limbah pertanian di Indonesia.

References:
-http://oemahjamur.blogspot.co.id/2014/01/budidaya-jamur-tiram-media-jerami.html
-http://www.bps.go.id/index.php/brs
-http://aplikasi.pertanian.go.id/bdsp/index.asp
Jariri imam alhafiedh
14/365113/PN/13680